Pages

Monday, April 9, 2012

Teratai


TERATAI


From : Anjar
Ran, gmn kbr Rafael, kt Lily dy flu ya. Jgn lupa ksh obat, klo bandel bw sini aj dperiks


Kirana menutup kembali Blackberry sliding-nya setelah membaca pesan dari Anjar tanpa ada niat membalasnya. Palingan juga dia bakalan nge-ping sehabis melihat pesan yang dia kirim berubah dari ‘D’ menjadi ‘R’ tanpa ada respon. Mungkin dia akan melakukannya hingga puluhan kali seperti yang dulu selalu dia lakukan dan hanya akan berhenti setelah Kirana membalas paling tidak satu kata. Dulu dia selalu khawatir karena hal ini akan berakhir dengan pertengkaran tapi sekarang dia tidak peduli. Toh sejak dia dan Anjar bercerai, dia tidak harus lagi mengikuti sikap Anjar yang berlebihan terhadap dirinya.
Sikap berlebihan itu mungkin bisa diterima olehnya, tapi Kirana mulai tidak bisa menerima ketika Anjar menerapkan sikap itu pula pada Rafael, anak mereka satu-satunya.

Rafael harus sempurna, harus juara satu, harus nurut, harus jaga manner, harus tenang, harus diam, dan seterusnya. He such a perfectionist person, kadang Kirana tidak habis pikir, Anjar adalah seorang dokter spesialis paru yang sibuk dengan begitu banyak pasien. Dokter sempurna yang pengertian dan baik hati, motivator bagi pasiennya, then he just can’t how to motivating his own wife and son, selain membuat keduanya tertekan dengan tuntutan sana sini tanpa memenuhi tuntutan sang istri dan anak laki-lakinya yang membutuhkan kasih sayang. Bukannya request-an yang belum waktunya dibebankan pada anak berumur lima tahun.
Setelah dua puluh ‘ping’

“Iy tau ko. Dy udah baikn, td udh mnum obat jg”
“Lg dmana?”
“D RS. Ad lahiran td”
“Loh, g ad prwt lain. Rafael sp yg jg”

Kirana menghela nafas kesal, hampir mendengus “ Kenapa baru sekarang ributnya, dulu waktu masih serumah sebagai keluarga kamu kemana” bisik Kirana dalam hati.

“Lily bantuin jg”

Kirana langsung menutup aplikasi pesan blackberry-nya berharap pembicaraan sia-sia ini tidak berlanjut. Sesaat sebelum dia memencet tanda telepon merah untuk meng-off-kan hapenya, pesan baru masuk lagi.

From : Ilham
Syg, aku dah drumah, kamu g ad. Ad lahiran lg drumah skt ya?

Untunglah bukan Anjar yang mengajak bertengkar ‘lagi’. Pesan terakhir itu membuat dia lega sekaligus merasa tidak enak.

‘Iy Ham, maaf ya’
‘Iyeh g pp lg. Aku lg asik maen ma Rafael jg ni. Seneng dy ad tmen maen yg seumuran’
‘Seumuran pala mu’
‘:D’
‘Otw. Bntar lg ko’

Karina menutup kembali blackberry-nya dan memasukannya ke dalam tas. Dia meraih jaket yang tersampir di ruang perawat sambil berpesan pada Hana untuk menggantikan tugasnya menjaga bayi laki-laki seberat 3 kilo yang dirawat di ruangan opname bersama ibunya.
“Han, aku tinggal ya” ucapnya lalu menunggu anggukan Hana dan berlalu “Eh, jangan lupa diawasin ya, dokter Ridwan masih diluar, takutnya bayi tadi kenapa-kenapa. Nangisnya telat tadi soalnya”
“Iya ah, pulang sana” Hana tertawa sendiri melihat tingkah Kirana yang tidak pernah bisa berhenti khawatir “Kaya aku sendiri aja disini. Banyak dokter muda yang siap bantuin noh” tunjuknya.
Kirana berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan sangat terburu-buru. Pikirannya tercampur baur antara si bayi yang terlambat menangis setelah lahir dan anaknya sendiri yang hari ini saja bersinnya sudah puluhan kali sampai bosan menghitungnya. Dia selalu saja khawatir dengan anak-anak disekitarnya. Dia menyukai anak kecil dan jiwa keibuannya selalu saja terpanggil ketika tangisan-tangisan anak kecil merasuk telinganya. Make the baby’s crying stop is heaven for her.
Sayang sekali kecintaannya pada pekerjaan dan anaknya tidak didukung dengan keadaan keluarga yang baik. Tiga tahun sudah dia berpisah dengan suaminya, seorang dokter spesialis paru bernama Anjar, karena hal umum yang sulit ditoleransi. Sikap dan prinsip. Perjuangannya untuk tetap bertahan sendiri bersama anak satu-satunya membuat dia menjadi wanita yang kuat dan dicintai banyak orang. Cukup setimpal dengan apa yang hilang. Entahlah. Dia selalu mencamkan itu cukup setimpal, tapi hati kecilnya masih terusik ketika melihat mata Rafael yang mencari-cari sosok sejenis dia, sosok seorang laki-laki.
Ilham tiba-tiba lewat dibenaknya.
Dia mengambil blackberry-nya dan mengirim sebuah pesan sebelum memberhentikan taksi dan masuk kedalamnya.
‘Ham, maaf ya’ -D-

**

“Gimana sama hotel kamu. Udah balik lagi?”
“Udah stabil ko. Ilham gini. Jago tau” Ilham menyombongkan diri.
Ilham memiliki sebuah hotel yang dia rintis dari dasar sama-sekali hingga sekarang menjadi sebuah hotel bintang lima terkenal. Beberapa waktu yang lalu, isu kenaikan bahan bakar dan mata uang yang tidak stabil membuat usahanya terkena ombak kecil tapi seorang Ilham sangat terampil untuk merakitnya kembali.
“Bagus deh kalo gitu” Kirana beranjak dari sofa “Mau kopi lagi?”
“Ga deh” sahut Ilham. Dia memandangi Kirana yang masih berjalan menuju sofa dekat Ilham, meraih Rafael yang tertidur bersama lembaran-lembaran kertas bergambar dipangkuan Ilham “Tadi dia main apa sama kamu?”
“Ngegambar aja. Aku ada baca, katanya menggambar meningkatkan kreatifitas dan memaksimalkan kerja otak gitu, jadi tadi aku ajak dia gambar deh. Lagian Lily juga keliatan kasian banget. Anak kamu nih gak jauh beda sama ibunya, kaya bebek lari-larian sana sini” dia tertawa.
“Dasar” Kirana berpura-pura marah. Namun jauh dalam hatinya, itu adalah ucapan apa adanya yang hangat.
“Eh mau angkat Rafael? Sini biar aku” Ilham menggendong Rafael masuk ke kamarnya, menyelimutinya dan meninggalkan Kirana bersama Rafael sesaat. Memberikan waktu untuk ibu dan anak itu.
Setelah sepuluh menit, Kirana keluar dari kamar Rafael. Ilham bersiap pulang.
“Ran, besok sibuk gak?”
“Enggak, kenapa?”
“Ke Teratai mau gak? Mas Indra sama istrinya lagi liburan trus mampir gitu”
“Ke tempat kerja kamu?” Kirana mengerutkan kening. Mendengar Teratai saja, nama hotel bintang lima milik Ilham sudah membuatnya sedih, apalagi harus bertemu dengan semua orang dan Mas Indra beserta istri.
Pertama kali (dan terakhir kali) Kirana ke Teratai, semua mata menatapnya. Bisikan-bisikan halus gunjingan orang mengusiknya. Bagaimana tidak, Ilham seorang pengusaha hotel bintang lima sukses, seorang pengusaha muda yang menjadi panutan, memiliki kekasih seorang perawat rumah sakit biasa, janda, punya anak pula. Lengkap. Gimana gak gatal mulut orang untuk menggunjing.
Awalnya Kirana berusaha tahan, tapi kemudian dia sempat dengar kata-kata istrinya Mas Indra, kakak Ilham, tentang dirinya kepada suaminya.
“Kenalin, ini Kirana” ucap Ilham waktu itu. Mas Indra menyambut salaman itu dengan hangat begitu pula istrinya, Dian. Namun kemudian ketika dirinya cukup jauh, angin membawa bisikan Dian.
‘Itu ya mas. Tapi kok kasian sih si Ilham. Ga ada ya yang belum jebol. Ada bonus gitu lagi’ bisiknya.
Sakit!
‘Hush, jangan ngomong gitu. She is the best nurse, and I know she’s best for my brother
Malah makin sakit!
Kirana dipenuhi perasaan bersalah yang disadari oleh Ilham.
“Kenapa sayang?”
“Aku gak bisa”
“Kenapa? Aku jamin, Mbak Dian ga akan keceplosan lagi ko. Maafin dia ya”
“Aku gak marah sama Mbak Dian. Dia bener, aku marah sama diri aku sendiri”
“Aku seneng ko. Kenapa harus takut omongan orang lain”
“Aku udah berusaha berpikir kaya gitu Ham, tapi..”
“Coba liat sini” Ilham memaksa Kirana menatapnya. Dia menangkupkan kedua telapak tangan di kedua pipi Kirana. Hangat “Lihat aku. Si Ilham yang muda, yang berprestasi, yang ganteng” sekilas dia tersenyum sombong, lalu berujar kembali “Si Ilham yang kekanak-kanakan, yang manja, si anak bungsu yang cengeng. Kamu tahu, sebelum ini kita sama-sama bersama orang lain tapi ketika aku sama kamu. Si Kirana yang bawel, ibu-ibu yang sayang banget sama anaknya, suka cerewet apa aku udah sikat gigi apa belum, yang paling repot pas aku bersin cuma sekali, yang suka marah-marah kalo aku lupa sama jadwal rapat sama klien atau tamu luar negeri yang review hotel, yang gak pernah berhenti ngoceh kayak nenek-nenek, trus si Kirana itu punya anak, namanya Rafael, lucu, imut, pinter, nakal juga, suka maen, suka berantakin kamar, suka lempar gayung kalo lagi mandi sama sikat gigi. Both of you just lovable. Sebelum ini aku punya pacar dan mereka gak pernah sama kayak kamu. Ketika aku liat kamu, lalu aku liat Rafael, saat itu aku tahu, cuma kamu yang bisa sabar buat terus sama aku”
Kirana Speechless.
Iya, setimpal. Semua kenangan buruk itu terbayar dengan kebahagiaan Rafael, teman-teman yang mendukung dan mengerti keadaannya, dan Ilham.
Tuhan memberi lebih dari yang dia harapkan.
“Besok, ke Teratai ya” bisiknya lagi. Kirana mengangguk.

**

“Rafa, sayang. Aduh. Sini dong, makan dulu. Lepas dulu mobilnya” Kirana berlarian kesana kemari mencoba mengejar lelaki kesayangannya agar membuka mulut dan menelan sup sayur yang dia buat subuh tadi. Blackberry-nya berbunyi.
“Sayang aku jemput ya. Sama Rafael juga”
“Loh ajak Rafa juga?”
“Iyun”
Kirana mulai lemas.
“Ma” Rafael menyerah sendiri ketika mendapati ibunya berhenti mengejarnya. Dia membuka mulut pasrah membiarkan sesendok sayur terakhir masuk perutnya. Dia tersenyum, sepasang lesung pipi yang manis muncul seperti bulan dan matahari terang bersebelahan.
Kirana memeluknya erat “Mama sayang Rafa”

“Ran” kamu percaya gak? Semua orang menunggu kamu, mengharapkan kamu. Kalimat panjang itu terpotong menjadi hanya sapaan “Ran”dan sisanya terucap lewat matanya. Kirana memilih pura-pura tidak melihat dibandingkan berharap.
Berpikir semua orang mengharapkan kehadirannya, baginya itu terlalu berlebihan. Namun Ilham tidak lelah menunjukan pada Kirana dan semua orang bahwa pilihannya benar.
“Iya, Ham”
“Ayo”
“Tapi aku takut banget Ham”
“Kenapa lagi sayang?”
“Disini aja deh ya, ga usah pake kenalan dan bawa-bawa Rafael”
“Harus dong, biar mas Indra kenalan, Mbak Dian ketemu, trus cerita-cerita ke Mama dama Papa dan keluarga disana”
Lalu membuat mereka kecewa Ilham?
“Kamu tau gak Ran, dulu ada yang pernah nanya sama aku. Ham kok kamu mau sih sama Kirana, yang cantik sekarang kan banyak?”
“Coba deh kamu pikir, gimana perasaan aku mendengar pertanyaan itu. Kita sama-sama sedih dan berusaha berjuang disini, kamu gak sendirian. Aku juga merasa kaget, sekaget kamu, mungkin lebih kaget. Seperti kamu menerima dihina tetapi kamu tidak terima Rafael dihina, aku juga gitu, aku terima dihina, tapi rasanya marah banget kalo orang hina-hina kamu seakan mereka lebih kenal kamu dari aku”
“Trus kamu jawab apa?”
“Diem aja”
“Bohong” sanggah Kirana. Kamu bukan tipe yang diam setelah dibombardir pertanyaan frontal.
Ilham tersenyum lagi mendapati Kirana selalu bisa menebak.
“Yah, aku cuma nanya balik aja”

‘Kamu punya pacar gak? Secantik Kirana gak? Kalo lebih cantik, apa dia sebaik Kirana? Kalo lebih baik, apa dia pinter masak kayak Kirana? Kalo iya, Apa dia dan kamu punya kesamaan yang membuat kalian selalu bahagia kayak aku dan Kirana ketika mendengarkan Jazz dan piano bersama secangkir kopi? Apakah dia sepintar Kirana dalam merawat anak? Apakah dia sekuat Kirana yang selalu tahan mendengar orang-orang menghina dia? Apakah dia seperti Kirana yang lebih peduli pada jani-janji rapat dan pekerjaanku dibandingkan aku sendiri terhadap pekerjaanku? Apakah pacarmu mementingkan dirinya sendiri? Satu-satunya hal yang Kirana tidak pernah lakukan’

“Ada banyak hal yang tidak mereka tahu dan membuat mereka menelurkan penilaian amat mentah. Kalo orang kayak gitu jadi pengusaha atau kerja di perhotelan pasti bangkrut” selorohnya.
Keberanian itu muncul lagi, Kirana ikut Ilham sambil menggendong Rafael bersamanya. Pergi menuju Teratai.

Mata-mata menatapnya tiada henti. Tatapan senang, excited, sedih, tapi paling banyak tatapan menghakimi yang ditutupi dengan senyuman palsu. Untung mereka hanya karyawan biasa, jadi mereka tidak berani bertanya macam-macam tentang wanita dan seorang anak kecil yang dibawa Ilham.
“Ini Kirana” ucapnya spontan menyadari tatapan penuh tanya semua karyawannya “Kalian harus tahu sepertinya” dia tersenyum tegas “Dan ini Rafael, lucu kan dia?”
“Ih iya, imut banget” bisik sebuah suara.
“Eh itu ya, ada anaknya. Wah” bisikan lain.
Apa maksud ‘wah’ itu?

-----

“Itu yang aku denger Ly, gimana sama yang gak aku denger, gimana sama yang ngomong kemana-mana tapi aku gak tahu. Rasanya kayak bom waktu Ly, tiba-tiba udah mau meledak dan ngancurin perasaan aku” hanya beberapa menit setelah perkenalan itu, Kirana membiarkan Ilham menggendong Rafael dan dia pergi dari sana, bersembunyi di sebuah taman halaman belakang hotel agar Rafael tidak melihat ibunya yang bawel, sedih, tersedu. Suasana sepi saat itu, Kirana memilih duduk dikursi dekat danau dan curhat via telpon dengan Lily yang langsung memutuskan untuk menyusul Kirana kesana.

**

“Kirananya mana?” Dian mendekati Ilham, menanyakan keberadaan Kirana antusias.
“Ada apa memangnya Mbak?”
“Aku mau ketemu Kirana”
“Tumben”
“Jangan gitu ah. Mbak minta maaf soal dulu itu. Mbak gitu, itu spontan Ham, habis itu Mbak ngerasa bersalah banget juga”
“Iya, ga apa kok Mbak, ga ada yang marah” Ilham mencoba mencairkan suasana dengan senyumnya “Gimana keadaan ka Giska sama anaknya”
“Sekarang baik Ham. Makanya juga Mbak mau ketemu Kirana. Ka Giska cerita ke Mbak, anak pertamanya itu kan baru lahir padahal Ka Giska nikahnya udah lima tahun, jeda lebar kan tu, jadi kata dokter riskan banget makanya dia kesini buat perawatan, total banget. Trus dirumah sakit, selain dokter ada juga perawat yang ngerawat dia, telaten banget, Kirana Ham. Mbak langsung ngerasa bersalah banget sama Kirana”
Senyuman masih terus menempel di wajah Ilham “Iya Mbak, dia suka banget sama anak kecil”
“Ini Rafael?”
“Iya”
“Lucu, mirip mamanya” bisik Dian tulus.
Dia menatap ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Kirana.

**

“Kalo misalnya kamu kelas enam SD trus ujian dikasih soal kelas empat SD kan gampang banget, langsung lulus gitu. Kalo ujiannya susah berarti you have high grade for yourself. Luluslah, kamu bakal dapet ujian yang lebih susah lagi, susah lagi”
Kirana hanya terdiam di bangku taman, menelaah apa yang dibilang Lily sambil menatap bunga teratai yang mengapung di danau.
“Yang penting Tuhan selalu sama kita, sama kamu”
“Sok bijak kamu Ly”
“Iya dong. Lily, nih aku long distance sama laki tetep aja positif kan. Toh di Jerman dia gak bakal nemu cewek Asia tulen putih dan cantik kayak aku, baik hati, pinter ngasuh anak, bersuara merdu. Dia nyeleweng disana sama aje buang berlian buat sebongkah batu”
“Ciehhh” Kirana mulai lupa dengan penyebab dia hampir menangis
“Haha, yaudah mikir gitu juga dongs. Janda, kan ga apa apa, cantik gini, sekseh. Punya anak juga ga apa-apa, lucu gitu anaknya. Orang yang punya anak jelek aja bangga sama anaknya biarpun cuma pinter main cilukba. Biar cuma perawat, perawat itu kerjaan hebat loh, jangan remehin, bantuin orang sakit jasanya banyak. Biar digunjing orang, kamunya kan gak gunjing orang sayang. Lagian Ilham masih cakep kan, yaudah, bawa ketawa aja ya cantik” Lily mencubit pipi Kirana.
Dia kemudian iseng mengecek kembali blackberry-nya. Sepi. Dia kemudian tergerak untuk membuka akun yang sudah sangat lama tidak dibuka olehnya. Ingin melihat apakah ada sesuatu yang penting, sekedar menengok Timeline dan melihat yang sedang tren lalu kembali menutupnya. Niat awalnya.

‘Kaka Kirana. Sakit ya?’ from : @Iren
‘Kirana sayang, si bayi 3 kilo udah bisa pulang loh, sehat banget, tapi kata mamanya dia kangen kamu, cepet sembuh yah’ from : @Hana
‘Ka, ini Dewi kaka. Ponakan kesayangan om Ilham lohhh.... Kaka mau dipanggil tante kapan nih #kode’ from : @Dede_Wiwi
From : @DianIndra ‘Ran. Maaf ya’

Mata Kirana tidak berhenti membaca pesan yang seakan tidak berhenti memberinya semangat.
Lily kemudian ikut duduk sambil tersenyum kecut pada Kirana yang matanya memerah “Tuh kan. Kita semua sayang dan peduli sama kamu. Mereka ngomong gitu juga kalo gak dianggap ntar capek sendiri. Kamu punya kita semua, semua pengen jadi kamu loh Ran, si mama cantik yang bawel” Lily lalu memeluk erat Kirana penuh sayang.

“Iya, gak ajak-ajak” Ilham teriak dari seberang danau. Matanya cemburu pada Lily yang memeluk Kirana.
“Udah, cemburu sama Rafael aja, gak usah Lily juga deh”

Ilham hanya terkikik seperti anak kecil. Selucu Rafael.

***

The old quote says : Don’t judge people by the cover
The worst is, when the people judge other even without check out how the cover is
Tidak perlu saling menunjuk siapa yang benar dan yang salah. Perjuangankan, cukup. Dia akan muncul dengan sendirinya. Tuhan Maha Adil.

No comments:

Post a Comment